Penulis : Ahmad Fuadi
Penerbit : PT. Falcon
Penerbit : PT. Falcon
Penyunting : Edy Sembodo
Ilustrasi Sampul : Rio Sabda
Ilustrasi Sampul : Rio Sabda
Ilustrasi Peta : Hadi Santoso
Ukuran : 14 x 20.5 cm
Jumlah Halaman : 382 halaman
Jilid : soft cover
ISBN : 978-602-60514-9-3
Tahun Terbit : Juli 2017
Ukuran : 14 x 20.5 cm
Jumlah Halaman : 382 halaman
Jilid : soft cover
ISBN : 978-602-60514-9-3
Tahun Terbit : Juli 2017
Novel ini baru saja diterbitkan pada pertengahan tahun 2017. Setelah
sekian lama menunggu adik dari trilogy 5 menara, Ahmad Fuadi akhirnya
meluncurkan novel fiksi dengan tema yang hampir sama dengan novel-novel
sebelumnya. Mungkin ini menjadi ciri khas dari sang penulis dengan selalu
mengambil cerita mengenai perantauan. Novel Anak Rantau mengambil latar tempat
di daerah Minang, Sumatera Barat sehingga isi dari novel ini sangat kental
dengan adat dan budaya Minang.
Berawal dari ulah Hepi di sekolah. Ia dinilai tidak serius sekolah
oleh gurunya seperti sering bolos dan susah diatur. Hal inilah yang membuat
Hepi mendapatkan rapor kosong. Ya, tidak naik kelas. Setelah melaporkan kepada
ayah hepi, Ia tidak marah sekalipun. Hepi curiga entah rencana apa yang akan
dilakukan ayah untuknya.
Berselang beberpa hari kemudian, Hepi justru diajak ayahnya untuk
pulang kampung di tanah Minang. Hepi sangat gembira tapi juga heran kenapa di
saat Ia tidak naik kelas, Ia malah diajak untuk pulang kampung. Hepi tentu
setuju dengan rencana ayahnya karena Hepi belum pernah pulang kampung
sebelumnya.
Hepi dan ayahnya akhirnya tiba di kampung halaman. Nenek dan Kakek
Hepi juga kaget akan kehadiran mereka, karena ada luka lama yang sebelumnya
belum terselesaikan di hati ayah Hepi sehingga membuatnya sangat jarang untuk
pulang kampung. Hepi, si anak ibu kota, akhirnya bergaul dengan teman sebayanya
dikampung, Attar dan Zen. Berselang beberapa hari tinggal di kampung, akhirnya
mereka akan balik ke Jakarta. Dan betul saja, Ayah Hepi punya rencana lain
untuk Hepi. Hepi ditinggal oleh ayahnya dan akan diasuh oleh kakek dan nenek
Hepi. Tentunya Hepi tidak siap akan hal tersebut. Hepi memberontak saat
kopernya juga telah siap untuk kembali ke Jakarta. Tapi, ayah Hepi menghiraukan
apa yang dikatakan dan dilakukan Hepi. Hepi bahkan mengejar ayahnya untuk ikut
naik ke bus, tapi tidak dibiarkan oleh ayahnya. Ini adalah akibat dari tidak
naik kelasnya Hepi, sehingga Ayahnya sadar bahwa Hepi mungkin akan lebih baik
jika diasuh oleh orang tuanya di Minang dan tidak lagi akan dipengaruhi dengan
pergaulan remaja ibukota yang semakin menjadi-jadi. Secara tidak sadar, ayahnya
pun berkata “Kalau memang mau ke Jakarta, boleh, tapi beli tiket sendiri kalau mampu”.
Hepi sangat marah dan geram kepada ayahnya yang meninggalkannya untuk hidup di
kampung halaman.
Disinilah petualangan Hepi dimulai. Satu kalimat tersebut membuat
Hepi berusaha untuk mencari uang demi kembali ke ibu kota, tempat tinggal Hepi
bersama ayah dan satu orang kakaknya. Apakah hidup Hepi justu lebih baik berada
di kampung halaman ? Apakah Hepi mampu untuk membeli tiket pesawat kembali ke
Jakarta? Bagaimana Hepi berdaptasi dengan warga sekitar? Semua akan menjadi
satu di akhir cerita bagaimana kisah Hepi dan ayahnya menjadi lebih baik,
permasalahan di kampung Hepi, dan berbagai kenangan dan sejarah yang akhirnya
terkuak berkat kehadiran Hepi.
Buku ini mempunyai nilai plus dengan adanya peta ilustrasi Kampung
Tanjung Durian, kampung halaman Hepi tinggal di tanah Minang. Membuat para
pembaca dapat berimajinasi seakan-akan berada di tempat Hepi berada. Alur maju
mundur juga diceritakan dalam novel ini, mengenai masa lalu, luka, dan rindu
yang menyatu dengan sangat apik. Namun, dari berbagai alur cerita, dari
pertengahan hingga akhir, ada beberapa cerita yang mudah untuk ditebak dengan
beberapa clue yang umumnya telah diketahui.
Secara keseluruhan, cerita ini cukup menarik untuk dibaca terutama
bagi anak-anak rantau yang hidup jauh dari orang tua. Semua dilakukan demi satu
kata, yaitu Rindu.
Ilustrasi Peta Kampung Tanjung Durian |
Comments
Post a Comment