SMA
Indah Harapan adalah salah satu sekolah swasta terfavorit yang terletak di kota
pahlawan, Surabaya. Hari ini, hari pertamaku masuk sekolah putih abu-abu. Masa
dimana kebanyakan orang berkata masa ini adalah masa-masa yang paling indah.
Diawali dengan kegiatan tahunan yang paling aku benci, MOS (Masa Orientasi
Siswa). Sekolah ini dikenal dengan tingkat senioritas yang tinggi. Ada banyak
aturan tidak tertulis yang harus dipatuhi, bahkan aturan ini lebih banyak dibanding
aturan yang telah terpampang pada dinding sekolah. Beri salam kepada senior
tiap bersua, tidak melewati koridor senior, tempat duduk khusus senior di
kantin, dan masih banyak aturan lagi. Aku mencoba menghirup udara segar di hari
perdanaku sekolah. Merasakan bagaimana menjadi salah satu siswa beruntung yang
telah melewati proses ketat di sekolah ini. Aku hanya mengenali lima orang
siswa saat itu, aku merasa terasing. Mereka adalah teman putih biru ku yang
juga lulus di sekolah ini dan aku adalah satu-satunya perempuan yang mumpuni.
Hari itu, kami diperintahkan untuk membawa alat-alat kebersihan seperti sapu
ijuk, sapu lidi, tempat sampah dan sendok sampah. Anehnya, ketika kami
melakukan apel, alat-alat itu dikumpul dan disatukan. Sayapun berfikir keras,
buat apa coba kita membawa perlengkapan itu tapi ujung-ujungnya tidak digunakan
juga. Setelah itu, kami dibagi menjadi beberapa gugus. Nama gugus kelompok ku
adalah Merkurius. Berhubung aku termasuk dalam kelompok pertama, Merkurius
adalah nama yang tepat dimana planet tersebut adalah planet pertama yang
terdekat dengan pusat tata surya.
“Perkenalkan
nama saya adalah arfa” ucap bindap kelompok ku
“
Saya adalah dewi” kata bindap kedua dari kelompok ku
Mereka
memperkenalkan diri dengan penuh percaya diri. Tak lupa dengan gaya khas
seorang senior yang selalu mencongak dan sok berkuasa. Satu hal yang aku ingat
adalah momen ini merupakan momen pertama kali aku mengenal dirinya hingga masih
tersimpan dalam memoriku saat ini. Betul kata pepatah, love at the first sight.
Inilah yang terjadi, Arfa adalah sosok yang tampan namun sederhana. Sejak saat
itu, aku sering melihatnya diam-diam. Terlebih lagi perhatiannya kepadaku,
padahal itu hanyalah perhatian sebagai seorang bindap, tidak lebih. Setelah
beberapa hari aku mengenalnya, ternyata sifat mencongak itu hanyalah
profesional belaka sebagai seorang senior yang mengkader juniornya. Di balik itu,
ia sangat baik dan peduli terhadap adik bindapnya khususnya ketika ‘kami’
sedang kesulitan.
***
“Assalamualaikum”
ucapku dengan lelah
“Walaikumsalam”
balas tanteku sambil memasak di dapur
“Tadi
ada telfon tuh dari Afra.. Arfa.. Aduh tante lupa namanya tapi namanya itu
mirip dengan namamu, ciee tadi itu suara cowok looh” heboh tante ina kepadaku
“Hah,
siapa yang tau nomor telepon di sini yaa, perasaan telepon yang sering saya
cantumkan itu nomor rumahku, bukan nomor telepon tanteku ini” ucapku dalam hati
Aku tinggal
bersama tanteku di Malang. Kebetulan, jarak dari rumah tante Ina ke sekolahku
cukup dekat. Rumah dan keluargaku semua berada di Surabaya. Wajar saja aku
heran dengan info terbaru yang aku dengar dari mulut tante Ina. Nomor rumahku
adalah nomor yang aku cantumkan ketika registrasi di sekolah ini. Rumah tante
Ina hanyalah rumah keduaku. Memang,
sebelum aku tinggal di rumah tante Ina, setiap akhir pekan rumah ini menjadi
tujuan ku untuk menghabiskan waktu malam minggu. Aku cukup dekat dengan
anaknya, Rina. Kami seumuran jadi, curahan hati selalu ku ungkapakan kepadanya.
Lebih intensif dibanding curhatanku kepada ibuku. Tapi, nomor telefon itu... aku
masih berkutat dengan info yang baru saja membuatku terkejut.
***
Tiga tahun
kemudian, aku lulus di salah satu universitas ternama di provinsi Jawa Timur,
Universitas Brawijaya dengan jurusan yang menjadi pilihan pertamaku, sastra
Inggris. Mungkin beribu-ribu siswa memilih fakultas kedokteran menjadi
prioritas pertama, bahkan orang tua dan tanteku pun menyarankannya. Mereka
melihat prestasiku yang cukup bagus ketika SMA dulu. Menjadi seorang dokter
memang pernah menjadi impian ku sewaktu masih kecil. Wajar saja, ketika umur 6
tahun dulu, profesi yang diketahui anak seumuranku hanyalah dokter, guru,
pramugari, artis dan polisi. Hehehe. Tapi kini, rasa ketertarikanku itu luntur
bahkan hilang seratus persen dari pikiranku, aku tidak ingin menjadi dokter,
kini aku mempunyai satu cita-cita, menjadi seorang duta besar negara.
Sebelum kuliah
perdana dimulai, kami diwajibkan untuk mengikuti pembinaan terlebih dahulu.
Mulai dari tingkat universitas, fakultas hingga tingkat jurusan. Tingkatan demi
tingkatan telah kulalui. Hari ini adalah pembinaan tingkat jurusan. Aku menatap
dengan tajam satu per satu senior-seniorku yang kelak akan menjadi tempatku
untuk berinteraksi dengan intensif. Aku mulai terpaku pada satu pandangan yang
membuatku tidak fokus. Bahkan teman disampingku yang memanggilku berkali-kali
pun telah kuabaikan.
“Arfani,
Arfanii, Arfaniiii...” ucap seorang teman baruku dengan rasa jengkel
“ Heh, maaf
mawar, kenapa ?” pandanganku mulai teralihkan
“ Tuh, senior
suruh kita isi biodata ini, dikumpul saat ini juga, cepat gih tulis nanti kita
dimarahin lagi kalo telat kumpulnya”
Akupun mengisi secarik kertas itu
dengan pertanyaan yang berulang kali aku dapatkan semenjak memasuki universitas
ini. Nama, tempat tanggal lahir, nomor telefeon, bla bla bla. Pandanganku tidak
fokus.
“Aduh,
punya tipe-x nggak, mawar ?
“nihh,
kamu kenapa sih, dari tadi aku liat kamu nggak fokus terus semenjak
senior-senior itu masuk” ucapnya dengan penuh penasaran
“Nggak
kok, eh ini kumpulnya dimana ?”
“tuh,
di kakak yang berbaju merah itu” ucapnya sambil menunjuk kepada sosok yang
membuatku termangung itu
“Waduh,
di kakak itu yaa”
“Emang
kenapa, kamu kenal ya”
“iya,
dia seniorku waktu SMA dullu”
Aku membawa lembaran yang sudah
terisi full dengan identitas-identitas lengkap ku
“Ini
kak” sambil menyerahkan formulir
“Eh,
kamu Arfani ya”
“ehm,
iya kak” ucapku dengan malu
Kak Arfa masih
mengingat namaku. Apa karena namaku dan namanya hampir mirip ya, sampe-sampe
dia masih mengenalku. Arfa dan Arfani. Kegeeran ku mulai muncul. Masih
terngiang dengan jelas ingatanku pada kali pertama aku bertemu dengan sosok
lelaki itu. Dan love at the first sight mulai bersemi kembali tapi aku hanya
menyimpannya dalam hati. Rina, tempat curhatan ku pun tidak mengetahui hal ini.
Stalking di media sosial adalah hal rutin yang selalu aku lakukan. Hingga kini
aku dipertemukan kembali. Padahal, di SMA pun kami hanya bertemu satu tahun.
Aku kelas satu dan dia kelas tiga. Aku kelas dua dan dia pun melanjutkan
studinya di sebuah perguruan tinggi. Aku bahkan tidak mengetahui ia berada di
jurusan yang sama denganku. Aku pikir, ia tertarik dengan jurusan teknik.
Jurusan yang diidam-idamkan oleh mayoritas siswa lelaki di sekolahku.
***
Singkat
cerita, aku sering berpapasan dengannya. Setiap kali aku lewat, tatapannya
selalu tertuju pada diriku. Bahkan dari jauhpun, ketika ia melihatku, ia
seperti memperhatikanku. Entah ini adalah sebuah kebetulan, ataukah memang ada
sesuatu yang ia lihat dariku. Setiap bertemu, kami jarang untuk saling
berbicara, menyapa pun tidak. Intinya, semua masih tersimpan erat-erat didalam
hati, terutama untuk diriku sendiri. Pernah sesekali, aku menemani Mawar untuk
berdiskusi dengannya. Mereka duduk setengah lingkaran dan Kak Afra sebagai
fasilitator pada saat itu. Aku tidak berada di antara mereka. Aku hanya melihat
dari luar forum diskusi. Tapi, aku juga berhadapan dengan Kak Afra. Ia selalu
memandangiku, bukan hanya sekali dua kali, tapi setiap menitnya, pandangannya
selalu terfokus kepada diriku, lebih intensif dibanding pandangannya kepada
forum. Momen itu, membuat saya selalu terngiang-ngiang .Aku kembali teringat
dengan kejadian telefon tante ina tiga tahun lalu. Aku adalah orang yang paling
malas untuk mendokumentasikan kegiatan-kegiatan ku sehari-hari. Tapi tidak
untuk momen yang satu ini.
“12 Oktober 2014”
You’re my name
Saat itu kau dan aku duduk saling berhadapan
tapi dalam jarak yang cukup jauh. Entah mengapa, dirimu selalu memalingkan
wajah kepadaku, bukan untuk menghindar, tapi untuk memandangku kembali. Pipiku
mulai kemerahan, kau melakukannya berkali-kali. Jika kuhitung dalam hitungan
waktu, setiap menit kau melakukannya tiap kita bertemu. Fokusmu pun tidak
terlepas dari diriku. Entah adakah sesuatu yang aneh pada diri ku ataukah
memang kau..... Ah, itu masih sebuah misteri. Aku tahu diary, ini mungkin suatu
hal yang mustahil. Ketika langit dan bumi ingin disatukan. It’s impossible. Aku
hanyalah sebuah bumi yang hanya berputar mengikuti lajur yang sudah ditentukan.
Hidup selayaknya orang biasa, tapi kamu adalah langit yang tak mungkin menyatu
dengan bumi, bersentuhan pun tidak. Langit selalu membutuhkan bintang-bintang
menawan dan kau telah memilikinya beribu-ribu. Aku tahu itu. Aku hanyalah bumi
yang terbuat dari tanah, air dan udara. Tak berkilau dan tak menawan.
Tadi pagi, matamu dan mataku saling berpapasan. Mungkin hanya beberapa
detik tapi intensif. Pernah sesekali kau menatapku selama 10 detik, waktu yang
cukup lama bagiku.
Aku pernah bersamamu melihat indahnya salah satu keajaiban dunia yang
selalu diimpikan oleh pasangan-pasangan romantis, Menara Eiffel. Tiba-tiba aku
terbangun dan ternyata itu hanyalah sebuah mimpi belaka. Mimpi yang berulang.
Hatimu dan hatiku masih menyimpan beribu rahasia. Kau mungkin bukan
jodohku, tapi momen ini akan selalu ku kenang hingga seseorang datang untuk
mengajakku bersama selamanya. Entah itu dirimu, ataupun dirinya”
Kemisteriusan
ini masih juga belum terungkap. Kami melakukan aktivitas sehari-hari dengan
begitu normal, tapi aku masih menyimpan rasa itu. Entah dirimu juga
merasakannya atau akulah yang terlalu kege-eran selama ini. You’re my name akan
selalu ku kenang.
Januari 2015
Fahmiyah
Comments
Post a Comment